
Banten memiliki banyak ulama tersohor
yang mewariskan ilmu agama bagi
masyarakat. Jika pada edisi lalu disebutkan
biografi dan kiprah Syekh Nawawi Al
Bantani, terdapat salah satu murid beliau
yang juga pernah menjadikan Banten negeri
madani. Dialah KH Asnawi bin Abdurrahman
Al Bantani.
Sang kiai lahir di Kampung Caringin, Labuan
Banten, sekitar 1850, di tengah keluarga
yang religius. Sang ayah, Abdurrahman, dan
ibunya, Ratu Sabi’ah, berasal dari keluarga
yang kental berislam. Bahkan, disebutkan
pula bahwa Kiai Asnawi masih keturunan
Sultan Ageng Mataram Raden Patah. Tak
heran jika sejak kecil, Asnawi hidup dalam
didikan yang baik.
Pada usia yang masih sangat belia, sembilan
tahun, Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk
menuntut ilmu ke Makkah. Di Tanah Suci,
Asnawi kemudian bertemu gurunya, Syekh
Nawawi Al Bantani, yang merupakan guru di
Masjidil Haram. Bukan sekadar karena sama-
sama kelahiran Banten Asnawi dapat dekat
dengan sang guru. Namun, kecerdasannya
juga membuat Syekh Nawawi mengajarkan
banyak hal padanya.
Bertahun-tahun kiai belajar di tanah
kelahiran Islam. Hingga ketika dirasa telah
mumpuni dalam agama, ia pun dipercaya
untuk mendakwahkan Islam. Maka, kiai pun
pulang kembali ke tanah lahirnya, Banten. Ia
pun mulai mengajar dan mengundang
ketertarikan banyak pemuda hingga
menjadi muridnya. Tersiarlah nama Asnawi
sebagai ulama di kawasan Banten dan
sekitarnya. Kepiawaiannya dalam
berdakwah membuat nama kiai Asnawi
tersohor sebagai ulama besar di Banten.
Tak hanya mengajarkan agama, Kiai Asnawi
juga terkenal semangatnya yang menggebu
dalam melawan penjajah. Ia mengobarkan
semangat pemuda untuk melawan dan
menentang kolonialisme Belanda. Apalagi,
saat itu seluruh wilayah Banten berhasil
dikuasai penjajah. Bahkan, tak hanya
mengobarkan semangat kemerdekaan
lewat lisan, tapi juga aksi. Kiai juga dikenal
memiliki ilmu bela diri yang sakti.
Kiai yang tangguh dan berhasil mengajak
pemuda untuk melawan penjajah pun
menjadi ancaman bagi Belanda. Apalagi,
Banten dikenal sebagai tempat lahirnya para
‘pemberontak’ Belanda, bukan hanya dari
kalangan rakyat biasa, melainkan juga dari
kalangan ulama. Alhasil, kiai pernah ditahan
oleh penjajah di Tanah Abang serta
diasingkan ke Cianjur. Ia dihukum lebih dari
setahun dengan tuduhan melakukan
pemberontakan. Namun, selama ditahan
dan diasingkan, kiai tetap aktif
menyampaikan dakwah Islam. Ia
mengajarkan syariat Islam kepada
masyarakat sekitar di manapun ia berada.
Seusai diasingkan, kiai kembali ke
kampungnya di Caringin. Karena situasi
yang lebih aman, kiai makin giat
mensyiarkan Islam. Ia pun mendirikan
sebuah Madrasah Masyarikul Anwar dan
masjid di Caringin pada 1884. Masjid
tersebut bernama Masjid Caringin yang
hingga kini masih berdiri tegak. Ada kisah
yang beredar di masyarakat bahwa kayu
untuk bangunan masjid tersebut berasal
dari sebuah pohon yang dibawa kiai dari
Kalimantan. Pohon tersebut hanya satu,
namun menghasilkan banyak kayu karena
keberkahan sang kiai.
Beberapa sumber menyebutkan,
pembangunan Masjid Caringin oleh kiai juga
ditujukan untuk membangun kembali
peradaban masyarakat yang hancur akibat
letusan Gunung Krakatau pada 1883. Kiai
Asnawi ingin membangun kembali akidah
masyarakat dengan didirikannya sarana
masjid tersebut. Sejak masjid berdiri,
dakwah pun makin menggeliat. Banyak
pemuda datang untuk berguru pada kiai.
Asnawi pun menghabiskan usianya untuk
pengajaran agama dari tempat
kelahirannya, Caringin.
Karena Asnawi sangat terkenal pamornya
sebagai ulama besar dari Kampung Caringin,
ia pun dikenal pula dengan nama Kiai
Asnawi Caringin. Masyarakat memaknai
Caringin dengan beringin. Selain karena
kampung asal kiai dari Caringin, nama
Caringin juga dianggap pas bagi kiai karena
telah mengayomi masyarakat layaknya
teduhnya pohon beringin.
Setelah banyak kiprah yang ditorehkan bagi
masyarakat, terutama masyarakat Banten,
kiai menghembuskan napas terakhir pada
1937. Ia meninggalkan banyak sekali anak,
yakni 23 putra dan putri. Ia dimakamkan di
dekat masjid yang ia bangun, Masjid
Caringin. Hingga kini, banyak masyarakat
yang rajin berziarah ke makamnya.
Sumber: Republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar